AMANAHSULTRA.COM : KENDARI- Guru yang seharusnya menjadi suri tauladan bagi para muridnya, rupanya tak berlaku lagi bagi Siti Alam, salah seorang guru honorer Sekolah Dasar (SD) Negeri 39 Kendari.
Kasus ini bermula pada, Jum’at (19/7/2019). Ketika salah satu orang tua murid berinisial SN hendak melakukan klarifikasi terkait permasalahan antara salah seorang guru honorer SD 39 Kendari, dan orang tua SN ini.
Kemudian saat orang tua SN tiba di sekolah tersebut, malah bukannya diterima dengan baik, melainkan guru honorer ini melontarkan bahasa dengan nada yang tinggi.
Padahal yang ingin ditemui orang tua SN ini salah seorang guru lainnya, namun tak ada angin tak ada hujan, Siti Alam pun ikut nyeloteh seolah-olah mengeluarkan kata-kata yang membuat orang tua SN ini tersinggung.
” Jadi awalnya itu orang tua SN niatnya baik yakni untuk klarifikasi terkait salah satu permasalahan yang dialami oleh pengasuh SN dengan seorang guru disekolahnya, pas kami tiba ibu Siti yang guru honorer ini bukannya menyambut dengan baik malah mempersilahkan duduk dengan nada yang tinggi bahasanya itu “duduk saja disini”, “ucap Paman SN, Andi, sembari menirukan bahasa Ibu Siti Alam.
Lebih lanjut Andi menjelaskan bahwa, “Nah, sebenarnya ini orang tua SN ingin mengajak berdiskusi berbicara empat mata dengan guru lain yang dimaksud, sehingga persoalan bisa diselesaikan dengan baik, tapi malahan guru honorer ini yang seolah-olah kami nilai sudah melangkahi kebijakan sekolah dengan gaya bahasa dia, “tambahnya
Tak cukup sampai disitu, saat orang tua SN melakukan mediasi dengan guru yang ingin diketemuinya itu, tiba-tiba saja ibu Siti Alam ini sempat kembali nyeloteh dengan bahasa yang kurang jelas, seakan-akan dia (Siti_red) tidak senang dengan kedatangan orang tua SN ini.
” Kami juga sesalkan kok ada pembiaran atas pendidik yang berwatak tempramental bgitu mengajar, apalagi mengajar siswa sekolah dasar yang seyogyanya diperlukan karakter pendidik yang lebih bisa mengontrol emosi dan kesabaran, bukan yang berkarakter tempramental begitu, “tegas Andi
Olehnya itu Andi mengatakan bahwa,“Untuk kami harap berbagai unsur dalam ekosistem pendidikan jangan menutup mata, dan membiarkan potensi kekerasan itu terjadi dengan tidak menindak tegas karakter pengajar atau pendidik yang berperilaku tempramental begitu, “harapnya
Untuk diketahui, seperti yang dilansir di HukumOnline.com. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, seorang tenaga pendidik seharusnya justru membimbing, mengayomi dan mendidik anak didiknya. Dimana kata Yohana, hal itu diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah melalui Undang-Undang No.35 Tahun 2014.
” Di Pasal 54 UU 35/2014 ayat 1 yang berbunyi Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Kemudian di ayat 2 itu Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat, ‘ucapnya.
Selain itu, Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Perlindungan Anak juga telah secara tegas mengatur setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Bagi yang melanggarnya akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 Juta.
Sementara itu seperti yang dikutip dari media berita Antara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengimbau agar dinas pendidikan lebih aktif melakukan sosialisasi aturan-aturan terkait sekolah aman dari tindak kekerasan, baik kepada guru, siswa, maupun tenaga kependidikan.
Dimana hal itu juga megacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No.82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, menyatakan bahwa tindak kekerasan yang dilakukan di lingkungan sekolah maupun antar sekolah, dapat mengarah kepada suatu tindak kriminal dan menimbulkan trauma bagi peserta didik.
Di sisi lain, Pasal 11 dan Pasal 12 Permendikbud 82/2015 menyebutkan sanksi terhadap oknum pelaku tindak kekerasan dilakukan secara proporsional dan berkeadilan sesuai tingkatan dan/atau akibat tindak kekerasan.
“Untuk itulah potensi kekerasan di sekolah perlu dicegah, dan ditanggulangi dengan melibatkan berbagai unsur dalam ekosistem pendidikan. Di dalam peraturan menteri cukup jelas siapa saja yang terlibat, apa yang perlu dilakukan dan bagaimana cara-caranya,”ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BKLM) Kemdikbud, Ari Santoso.
Laporan : Ifal Chandra/Rajap/Aryani