AMANAHSULTRA.COM : OPINI – Kasus pedofil yang terjadi di Jakarta Internasional School ( JIL ) kembali mencuat akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh warga asal kanada Neil Bantleman ini mendapatkan grasi dari presiden Joko Widodo.
Neil Bantleman mantan guru Jakarta Internasional School/JIS divonis 11 tahun penjara setelah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah agung (MA) pada tahun 2015 atas pelecehan seksual yang dilakukan kepada siswanya sendiri di JIS. Namun, belum sampai 11 tahun masa hukuman, ia dinyatakan bebas setelah mendapatkan grasi dari presiden jokowi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 13/G tahun 2019 tanggal 19 juni 2019.
Keppres tersebut memutuskan berupa pengurangan pidana dari 11 tahun menjadi 5 tahun 1 bulan dan denda pidana senilai Rp 100 juta. Keputusan ini menimbulkan kemarahan dan protes keluarga korban yang merasa tidak mendapatkan keadilan atas pelecehan seksual yang dialami. Kuasa hukum korban menyatakan bahwa keluarga korban merasa sangat dilukai hatinya, sangat sedih sekali atas grasi yang diberikan oleh presiden kepada Neil Bantleman saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Jumat (12/7).
Alasan grasi yang diberikan oleh presiden Jokowi kepada pelaku pedofilia tak pelak menjadi pertanyaan besar bagi keluarga korban. Theresia, ibunda siswa JIS berinisial MA yang diduga menjadi korban Bantleman mengatakan, sebagai pihak pelapor dia tidak pernah dikirimi surat oleh pengadilan tentang grasi itu. "Saya tidak pernah dapat surat, seharusnya saya diberitahu," katanya CNN Indonesia.com.
Tak disangka, menteri hukum dan HAM Yasonna Laoly di kompleks istana Kepresidenan, Jakarta, senin (15/07/2019) mengungkapkan bahwa alasan pemberian grasi presiden Jokowi kepada Bantleman karena adanya pertimbangan kemanusiaan. Hal senada disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko “saya pikir persoalan kemanusiaan yang menjadi utama” kata moeldoko kompas.com (15/07/2019).
Pemberian grasi secara sepihak atas dasar kemanusiaan kepada pelaku pedofilia asal kanada ini menimbulkan pertanyaan “Tidak mampukah hukum negeri ini memberikan perlindungan dan keadilan kepada anak dari kejahatan seksual?, Bagaimana mungkin pemimpin negeri ini yang seharusnya menjadi garda terdepan pelindung anak bangsa dengan segala kebijakannya justru memberikan grasi kepada pelaku pedofilia yang sudah merusak masa depan generasi bangsa ini. jiwa kemanusiaan yang tak tepat sasaran mampu melumpuhkan hukum di negeri ini.
Bukti telah jelas dan korban telah menjadi pesakitan tapi tak cukup menjadikan alasan diberikan hukuman kepada pelaku yang seberat-beratnya. Akar Masalah Padahal, kita telah ketahui bersama bahwa pedofilia menjadi ancaman dan momok yang sangat menakutkan bagi para orang tua. Pedofilia juga adalah penyakit menular yang membahayakan moral dan kualitas generasi masa depan. Bagaimana tidak, keselamatan dan masa depan anak- anak mereka terancam rusak akibat bayang-bayang kejahatan seksual.
Kasus pedofilia di Indonesia semakin marak terjadi karena tak ada hukum yang tegas kepada pelakunya. Telah terungkap diberbagai tempat bahkan tak sedikit dilakukan oleh orang-orang terdekat. Seorang ayah kandung yang harusnya melindungi anak-anak mereka dari segala bentuk kejahatan malah menjadi hewan buas yang tega memangsa buah hatinya demi kepuasan nafsu birahinya. Seperti dilansir dalam detik.com (24/06/019) bahwa warga asal kecamatan Abeli, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara tega mencabuli dua putri kandungnya yang masih berusia 13 dan 15 tahun.
Selain itu, profesi seorang guru yang sangat membanggakan, darinya ilmu didapatkan, mencerdaskan anak bangsa menjadi tujuan, kini malah diwaspadai akibat oknum tertentu yang menjadi predator kejahatan seksual yang justru merusak masa depan anak bangsa. Sebenarnya, akar dari semua permasalahan yang ada di negeri ini, termasuk maraknya kasus pelecehan seksual ialah karena diterapkannya sistem sekularisme kapitalisme.
Ini adalah sistem yang berasaskan pemisahan agama dari kehidupan, dan menjadikan aturan buatan manusia sebagai patokan. Sehingga tak sedikit umat manusia berjalan diatas tuntunan hawa nafsu belaka. Kebebasan yang diagung-agungkan menjadikan seks bebas bagaikan budaya yang dianggap biasa, konten pornografi dan pornoaksi dapat diakses kapan saja dan dimana saja tanpa ada batasan, serta tontonan yang tidak mendidik dapat membangkitkan hasrat seksual malah dibiarkan.
Tentu hal ini dapat menjauhkan umat dari pemikiran yang bersih dan tidak produktif karena urusan kamar yang harusnya terjaga kerahasiaannya kini menjadi pembahasan menarik dimana saja. Sehingga, kebebasan yang digaungkan dalam sistem kapitalis-sekuler seolah membuka jalan bagi para predator seksual menjalankan aksinya. Negara pun tak berdiri sebagai tameng pelindung generasi muda dengan aturan dan sanksi yang membuat jera pelaku pedofilia. Bahkan dengan mudah mengeluarkan grasi untuk meringankan hukuman pelakunya dengan berlindung dibalik nama “kemanusiaan”.
Islam Solusi Tuntas Pedofilia
Islam adalah agama yang menjadikan aqidah sebagai asas, dan aturan Allah sebagai pijakannya, sehingga memberikan aturan yang komprehensif dan kuratif dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup umat manusia, termasuk pedofilia. Hal ini tentu berbeda dengan sistem kapitalis- sekuler yang mengagungkan kebebasan, sehingga kejahatan seksual terutama pedofilia tumbuh subur tanpa batas.
Dalam ajaran Islam, jangankan mencium atau memegang anggota tubuh seseorang, melihat dengan menimbulkan syahwat saja tidak dapat dibenarkan, karena dikhawatirkan dapat menimbulkan zina. Islam juga memberikan hukuman yang tegas kepada pelaku zina, yaitu dicambuk 100 kali bagi pelaku yang belum menikah dan dirajam jika sudah menikah. Seperti terera dalam Qur’an Surah An-Nur ayat 2 “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman meraka disaksikan oleh orang-orang yang beriman”.
Kemudian untuk pelaku sodomi, hadd keduanya adalah dibunuh, baik sudah menikah atau belum. Dari Ibnu Abbas r.a, ia menerangkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “siapa saja yang kalian melakukan perbuatan kaum Luth (sodomi), maka bunuhlah orang yang menyodomi dan orang yang disodomi”.
Islam juga menjamin keamanan dan keselamatan masyarakat maupun generasi muda dari pelaku pedofilia. Bahkan tak ada lagi grasi atas nama “kemanusiaan” dan “HAM” untuk meringankan hukuman pelaku pedofilia. Sebab Islam tak akan memberikan keringanan hukuman bagi para predator kejahatan seksual yang dapat merusak mental dan masa depan generasi bangsa. Islam mewajibkan negara untuk menjamin kehidupan yang bersih dari gerbang kemaksiatan bahkan kejahatan seksual dengan aturan-aturan dari sang pemilik kehidupan, Allah SWT.
Negara menjaga agama, menjaga moral dan menghilangkan segala hal yang dapat mempengaruhi umat melakukan kemaksiatan. Seperti mencegah peredaran pornografi dan pornoaksi, memblokir tontonan yang menuntun generasi kepada kerusakan berperilaku.
Buruknya sistem sekularisme dan kapitalisme dalam melindungi generasi terhadap pelaku pedofilia membuat masyarakat membutuhkan aturan Islam yang dapat melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan. Sebab Islam tidak hanya sebagai agama namun juga sebagai ideologi yang memiliki aturan sempurna dan paripurna dari Allah SWT sang pemilik kehidupan. Islam adalah satu-satunya agama dan sistem yang memberikan penghargaan amat tinggi pada darah dan jiwa umat manusia.
Negara akan mencegah segala komoditas yang melemahkan aqidah dan kepribadian kaum muslim dengan tiga pilar yaitu ketakwaan individu, konrol masyarakat dan penerapan hukum islam oleh Negara. Hanyalah islam ideologi yang melindungi dan mempunyai visi penyelamatan generasi dengan menerapkan hukum-hukum pencegahan kejahatan sejak dini. Maka layakkah grasi bagi pelaku pedofil? Tentu jawabannya adalah tidak. Wallahu’alam bi shawab
Penulis : Nur Avina S.Pd ( Praktisi Kesehatan )
Attention : Segala penulisan dalam artikel opini ini sepenuhnya tanggungjawab penulis.