AMANAHSULTRA.COM : OPINI – Menikah bukan mencari bahagia, tapi untuk beribadah. Bahagia hanyalah makmum dari ibadah dan berkah dalam sebuah pernikahan_Salim A Fillah Akad nikah adalah janji yang terpancang kuat (mitsaqan ghalizhah) disaksikan penduduk bumi dan langit di hadapan Ilahi. Sakral sudah pasti, sebab niat tentu hanya ingin sekali terjadi. Bersama menjalankan ibadah hingga maut menghampiri.
Masalahnya beberapa waktu lalu publik dibuat gempar dengan pernyataan yang datang dari Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan). Salah satu komisionernya, Adriana mengatakan, memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual adalah bentuk pemerkosaan terhadap istri atau lebih tepatnya marital rape yang dilakukan pihak suami.
Atas sebab itu maka marital rape dapat digolongkan sebagai bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan pelakunya layak diganjar pidana. (kompas.com, 8/7/2019).
Menyoroti hal ini sikap kritis layak dikedepankan. Sebab bila dibiarkan imbasnya sangat besar. Anak-anak pastinya ikut jadi korban. Tinggal menunggu waktu rapuhnya generasi masa depan. Na’udzubillah.
Logika Absurd
Ditilik lebih jauh, pernyataan tersebut di atas ternyata berlatar belakang kasus KDRT yang melibatkan pasangan suami istri. Seorang pria bernama Anton Nuryanto membacok istrinya, FZ karena menolak ketika diajak berhubungan badan di Jalan Ancol Selatan II, Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Akibatnya FZ sempat mengalami luka serius dan harus dirawat di RSUD Koja. (kompas.com, 8/7/2019).
Tanpa mengurangi empati terhadap korban namun menisbatkan statement pada yang sifatnya kasuistik sungguh logika yang absurd. Sebab kasus bisa jadi berbeda tapi prinsip tidak. Tak terbayang bila nilai – nilai agama yang menjadi pedoman hidup manusia seenaknya diubah karena sebab suatu kasus yang terjadi.
Niscaya kerusakan dan kebinasaan siap mengintai. Selain itu perlu pula diwaspadai propaganda yang memperjuangkan kesetaraan perempuan. Harus diakui ada upaya masif yang diusung para pegiat jender demi melepaskan perempuan dari kodratnya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Peran yang tidak tergantikan dalam pandangan Islam namun rendah di mata mereka.
Berkaca pada sejarah gerakan jender yang cukup marak di Barat sejak 1960-an memang berefek partisipasi perempuan pada angkatan kerja di Amerika Serikat meningkat. Pada tahun 1950 partisipasi angkatan kerja meningkat sebesar 33% kemudian naik menjadi 60% pada tahun 1980. Malangnya angka perceraian di AS juga menunjukkan peningkatan hingga 100% pada rentang waktu yang sama, tahun 1963 dan 1975. (wikipedia).
Sadar akan fakta tersebut, perlahan ide ini mulai ditinggalkan di negeri asalnya. Tak sedikit aktivisnya berbalik menyerukan pentingnya perempuan kembali ke rumah dan pentingnya nilai keluarga. Membuktikan bahwa feminisme dan pemberdayaan perempuan hanya sebatas ilusi.
Ironis, di saat Barat mulai meninggalkan feminisme, di negara berkembang yang notabene negeri-negeri Muslim masih laris manis. Berdalih melindungi hak perempuan- sebagai anak maupun istri- ide ini dikemas jadi ikon yang harus diperjuangkan. Meski harus mengesampingkan ketaatan pada ayah ataupun suami.
Nyatanya, alih-alih menyelesaikan masalah perempuan, tatanan masyarakat justru rusak. Institusi pernikahan kehilangan greget-nya. Atas nama hak reproduksi, istri terdorong mengabaikan fitrahnya, antara lain untuk hamil dan menyusui.
Begitu pula dengan alasan aktualisasi dan eksistensi diri, ibu digiring untuk melupakan tugas utamanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak. Akibatnya marak anak remaja galau mencari perhatian. Gaul bebas alias zina di kalangan remaja pun terus meningkat. Di sisi lain angka perceraian hingga kehancuran keluarga juga semakin tinggi.
Islam Menjadikan Fitrah Bernilai Ibadah
Kecenderungan pada lawan jenis merupakan fitrah setiap manusia, maka satu-satunya cara yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan akad nikah (lewat jenjang pernikahan).
Firman Allah swt.,
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (TQS An-Nisa: 21).
Imam Ibnu Katsir saat menafsir ayat tersebut, beliau mengutip sebuah hadis sahih diriwayatkan dari Jabir, ra dalam Shahih Muslim yang menyatakan bahwa ketika seorang laki-laki melamar seorang perempuan dari orang tuanya untuk dinikahi berarti dia telah melakukan perjanjian atas nama Allah.
Seketika itu pula berlaku hak dan kewajiban pada masing-masing dari keduanya. Menikah juga merupakan sunnah Rasulullah saw. Beliau bersabda,
“Nikah itu sunnahku, barang siapa yang tidak suka, bukan golonganku”(HR. Ibnu Majah).
“Wahai generasi muda ! Bila di antaramu mampu menikah hendaklah ia nikah, sebab mata akan lebih terjaga, kemaluan lebih terpelihara.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Lantas bagaimana mungkin hadir yang namanya keterpaksaan? Bukankah begitu lafaz akad terucap, getarannya sampai mengguncang seluruh alam semesta tersebab beratnya beban ibadah yang menggelayuti?
Hanya saja untuk sampai pada pemahaman di atas syaratnya mari kembali mengkaji syariat Islam secara mendalam.
Bahwa Islam mengajarkan semua aktivitas bisa bernilai ibadah bila dilakukan ikhlas karena Allah dan mengikuti risalah Nabi saw. tak terkecuali dalam urusan pernikahan. Sehingga harusnya tak ada lagi istri yang merasa ‘dipaksa’ melayani suami. Suami pun tak perlu merasa teraniaya bila didesak istri untuk bekerja mencari nafkah.
Tak cukup sampai di situ mutlak dibutuhkan pula dukungan dan partisipasi pemerintah dalam menerapkan dan menjamin pelaksanaan syariat secara kaffah. Insya Allah berkah dan rahmat siap menanti di kehidupan seorang hamba hingga di level negara sebagai buah dari ketakwaan. Sebagaimana janji Allah,
“Dan jika penduduk negeri beriman dan bertakwa, sesungguhnya Kami bukakan kepada mereka ( pintu-pintu ) berkah dari langit dan bumi; Tetapi mereka mendustakan ( ayat-ayat Kami ), maka Kami siksa mereka lantaran apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS Al-A’raf: 96). Wallaahua’lam.
Penulis : Ummu Zhafran
(penulis lepas)