Kasus korupsi yang disuguhkan media seakan tak pernah sepi. Pelakunya pun dari kelas teri hingga kelas kakap. Kerugian negara pun tak perlu ditanyakan lagi, karena sudah tentu sangat banyak.
Sebagaimana Kepala Satpol PP dan Pemadan Kebakaran Konawe, Sahlan Saleh Saranani resmi menjadi tersangka korupsi di lingkup instansinya tersebut. Status Sahlan Saleh ditetapkan usai
menjalani pemeriksaan di Tipikor Polres Konawe, Senin (26/8/2019).
Kasat Reskrim Polres Konawe, IPTU Rachmat Zam Zam, menerangkan Sahlan ditahan terkait korupsi di enam kegiatan, misalnya dana rutin dan uang makan minum personil, perjalanan dinas dalam dan luar daerah, belanja pemeliharaan kantor dan kendaraan, serta belanja jasa non-PNS tahun 2017 (Sultrakini.com, 26/08/2019).
Rachmat mengatakan, berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi Sultra, total kerugian negara akibat korupsi tersebut mencapai ratusan juta rupiah. Modusnya, tersangka
membuat laporan pertanggung jawaban (LPJ) fiktif.
Bukan hanya Syahlan, Polres Konawe juga memeriksa mantan bendahara Satpol PP dan Damkar Konawe, Faisal Hadi. Faisal terlebih dahulu menjalani pemeriksaan pada Jumat (23/8). Menurut Rahcmat, Faisal kini juga telah ditahan oleh Kejaksaan dalam kasus korupsi yang lain. Pun Kasat Reskrim Polres Konawe mengatakan bahwa Faisal kasusnya double (Zonasultra.com, 26/08/2019).
Fakta di atas semakin menambah daftar panjang kasus korupsi yang tak pernah sepi di negeri tercinta ini. Bagaimana tidak, kasus tersebut dapat menjadi salah satu faktor penghambat sebuah negara untuk dapat maju dari keterpurukan. Kasus tersebut pun merupakan perkara yang kompleks.
Adapun faktor penyebab korupsi ada banyak hal, di antaranya, minimnya sifat amanah dan adanya gaya hidup konsumtif sehingga tak jarang lebih besar pasak daripada tiang. Tak sedikit
pula karena kurangnya kesejahteraan, dalam hal ini gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga dengan alasan itu, seseorang akan tergiur untuk melakukan tindakan korupsi agar terpenuhi semua kebutuhan hidupnya.
Selain itu, adanya sanksi yang belum mampu memberikan efek jera kepada pelaku. Padahal sejatinya sanksi bersifat menimbulkan efek jera, baik kepada pelaku itu sendiri dan kepada orang
lain yang berkeiginan melakukan tindakan serupa.
Lebih dari itu, adanya sistem sekuler kian mempersulit untuk lepas dari jerat korupsi baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Karena lingkungan begitu kondusif untuk melakukan hal itu. Sehingga tak mengherankan demi mendapatkan rupiah tak jarang seseorang tak segan-segan untuk membuat data fiktif agar dana dapat cair dan masuk ke kantung pribadi guna memperkaya diri.
Sementara itu dalam Islam, ulama fikih telah sepakat mengatakan bahwa perbuatan korupsi adalah haram dan dilarang. Karena bertentangan dengan maqasid asy-syariah. Adapun keharaman korupsi dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu: pertama, curang dan penipuan. Perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung merugikan keuangan negara ataupun masyarakat.
Kedua, khianat. Berkhianat terhadap amanat adalah perbuatan terlarang dan berdosa seperti ditegaskan Allah SWT dalam Al-Quran surat Al-Anfal ayat 27 yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga)
janganlah kamu mengkhianati amanat amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
Ketiga, aniaya (zalim). Perbuatan korupsi untuk memperkaya diri dari harta negara adalah perbuatan lalim (aniaya), karena kekayaan negara adalah harta yang dipungut dari masyarakat yang tak sedikit mereka peroleh dengan susah payah.
Ulama fikih pun menetapkan bahwa tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis. bentuk, dan jumlahnya didelegasikan syara' kepada hakim. Dalam menentukan hukuman terhadap koruptor. Seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syara' dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor. Sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi, begitu pula orang lain yang memiliki keinginan serupa.
Namun, jauh sebelum sanksi diberikan kepada para koruptor, tentu ada upaya preventif yang akan dilakukan dalam rangka meminimalisir dan membabat tuntas tindakan tersebut. Adapun
upaya tersebut dapat berupa memberikan gaji yang layak, sehingga kesejahteraan para pegawai tercukupi. Selain itu adanya ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan peran negara tak kalah penting dalam memberantas kasus korupsi.
Oleh karena itu, sulit membabat tuntas kasus korupsi jika tidak adanya sinergi antara individu, masyarakat dan negara dan menuntaskan kasus tersebut. Karenanya penting adaya upaya preventif dan menerapkan sanksi yang menimbulkan efek jera. Hal itu pun hanya dapat terealisasi jika hukum-hukum-Nya dapat diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga barulah akan terwujud Islam sebagai Rahmatan lil’Alamin. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Penulis : Fitri Suryani, S. Pd (Guru Asal Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara)
Attention : Segala penulisan dalam artikel opini ini sepenuhnya tanggungjawab penulis.