AMANAHSULTRA.COM : JAKARTA – Sebagian anak bangsa kadangkala merasa minder jika mengaku dari Indonesia saat bertemu di forum internasional. Mungkin mereka merasa karena berasal dari negara berkembang yang ketinggalan beberapa langkah dari bangsa lain.
Hal tersebut dikatakan Pemerhati Budaya dan Peradaban, Ir.Dede Farhan Aulawi, Selasa (10/12/2019).
Dede menjelaskan, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sering mendapat predikat dari masyarakat dunia sebagai bangsa beradab dengan tingkat capaian budaya yang dinilai luar biasa.
“Begitu banyak kekaguman tercurah pada warisan budaya yang telah menjadi ikon nasional maupunĀ internasional. Siapa yang tak mengenal Borobudur, Prambanan, Tongkonan, Pinisi, bahkan kini juga situs megalitik seperti Gunung Padang mendunia dan menjadi perbincangan para pakar sejarah dan peradaban manusia, “ungkap Dede.
“Jejak migrasi manusia pun terlacak jelas di kepulauan Nusantara. Situs-situsĀ kepurbakalaan seolah menjadi etalase peradaban yang menggambarkan perjalanan budaya bangsa dari era sangat tua. Era paleolitik dan neolitik sampai zaman modern yang menerpa dengan disrupsinya sehubungan dengan posisi Indonesia yang unggul secara geostrategis, “tambahnya
Kata Dede seorang peneliti dari Perancis yakni Dennis Lombard menisbatkan nama Nusa Jawa Silang Budaya pada kepulauan sekitar Jawa yang menjadi titik temu hampir semua peradaban dunia lintas masa.
Budaya Mohenjo Daro purba, Mesopotamia, Helenis, Yudais, dan berbagai nilai peradaban lain dari berbagai lintas waktu hadir di Nusantara dan bersintesis nyaris sempurna dengan budaya awal yang tumbuh dan mengakar.
“Sehingga tentu mempengaruhi sudut pandang dalam bernalar. Tak heran jika Dubois dan Koningswald, juga Linnaeus, serta Wallace menemukan “sepotong” museum biografi semesta di negeri ini, “ujarnya
Dua yang pertama adalah paleontolog, sedangkan dua yg terakhir adalah ahli ilmu hayati alias biolog. Mulai dari Homo Wajakensis sampai jejak spesies yang terpisah garis geografis semua terpetakan dengan “ceta wala wala” kata orang Jawanya di Nusantara.
Demikian pula sejarah tentang bentang alam yang menandai perubahan fase stratigrafi tercetak sempurna di negeri ini.
Ada catatan dari era Jura (triassic), lalu naik turunnya permukaan laut di era Holosen, dan banyak lagi jejak geologis yang menjadikan negeri ini sebagai sebuah sekolah alam sekaligus diberkahi sumber daya berupa potensi cadangan hidrokarbon dan mineral.
“Tak pelak dari negeri cantik nan kaya potensi ini, lahir pula manusia-manusia unggul dengan kapasitas kompetensi luar biasa, terkadang jauh melampauinya di jamannya, “imbuh Dede.
Sebagian di antaranya harus diakui bersifat kontraproduktif. Gerusan masif terhadap nilai budaya adiluhung yang selama ini maujud dalam bentuk tata kelola perilaku akal budi
“Mulai terdistorsi oleh sifat hedon dan instan yang menjadi ciri dari pergeseran budaya global yg diaksepsi, bahkan diakuisisi sebagai nilai universal yang wajar jika dijadikan panutan dan kriteria indikator kemajuan, “jelas Dede.
Disorientasi ini dapat dimodulasi dan dikatalisa menuju arah dimana vektor dari energi kinetik perubahan akan menghasilkan resultante yang sesuai dengan jati diri bangsa yang berorientasi pada proses memuliakan dan memanusiakan manusia.
Strategi kebudayaan harus mampu mengeliminir berbagai faktor distorsi dan menganalisasi segenap potensi hingga menjadi seberkas cahaya putih yang merupakan hasil akhir meleburnya setiap unsur dalam spektrum gelombang cahaya dengan panjang yang berbeda-beda.
“Karakter individu akan berkumpul menjadi karakter bangsa jika ada “fiber optic” budaya yang mampu menyatukan arah dan segenap daya menuju satu tujuan bersama, “urainya
“Syaratnya memang tak mudah, setidaknya kita wajib mengenal dan memahami akar budaya bangsa yang tertempa dalam perjalanan peradaban yang telah berlangsung selama ribuan tahun, “pungkas Dede.
Laporan : Ifal Chandra