AMANAHSULTRA.COM : JAKARTA – Diskursus terhadap kemungkinan masih akan terjadi atau tidaknya peperangan konvensional menjadi menarik untuk dipelajari. Dua kutub diametral semakin terbelah dengan keyakinan masing-masing yang saling bertolak belakang.
Di satu sisi berpendapat bahwa perang konvensional masih akan terjadi, dan salah satu faktanya masing-masing negara terus memperbesar alokasi anggaran pertahanannya.
Hal tersebut dipaparkan Ir.Dede Farhan Aulawi, ST.,MM selaku pemerhati pertahanan kontemporer.

“Yang membuktikan bahwa satu negara dengan negara lain memiliki kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya peperangan konvensional yang bisa terjadi kapan saja, “ungkapnya kepada AmanahSultra.com, Rabu (23/10/2019).
Di sisi lain kata Dede bahwa, ada juga yang berpandangan bahwa perang konvensional tidak akan terjadi lagi, karena konsep penguasaan teritori sebagaimana ada dalam doktrin perang konvensional dinilai sudah tidak berarti lagi, karena penguasaan sumber daya ekonomi dinilai jauh lebih penting daripada penguasaan teritori.
“Inilah yang merupakan dasar pergeseran konsep model peperangan saat ini, terlebih di masa depan, “katanya
Komisioner Kompolnas ini juga menjelaskan bahwa pandangan pergeseran medan pertempuran dari penguasaan teritori menjadi penguasaan ekonomi, nampaknya semakin terbukti. Tanpa harus menafikan kemungkinan terjadinya perang konvensional sebagai instrumen emergensi jika kondisi menuntut demikian.
“Coba perhatikan saat ini di banyak negara, dimana banyak sekali sumber daya ekonomi yang berada di suatu wilayah negara tetapi negara tersebut tidak mampu lagi memaksimalkan pendapatan dari sumber dayanya, karena sumber daya tersebut sudah dikontrak oleh orang lain (negara lain) untuk jangka waktu yang cukup lama, “papar Dede.
Menurut Dede, dalam analisa lain bisa saja terjadi, jika penguasaan sumber daya ekonomi di suatu teritori orang lain sulit untuk dikuasai, maka kemungkinan akan membangun sebuah “momentum” untuk mendesain aliansi sebagai sebuah “alasan” terjadinya transisi dan transformasi penguasaan sumber daya ekonomi dengan dibuat oleh selembar legalitas bernama “kontrak”.
“Jika ini yang terjadi maka medan pertempuran akan terjadi di lembaga legislasi agar menghasilkan produk-produk hukum yang menguntungkannya. Tentu harus juga disiapkan “pasukan terlatih” yang memiliki keterampilan luar biasa dalam mengamankan kepentingannya melalui instrumen hukum, sehingga semua penguasaan sumber daya ekonomi nampak begitu cantik, legal dan sah secara hukum jikalau akan digugat ke mahkamah internasional sekalipun, “paparnya
Kemudian lanjut Dede, dalam perspektif investasi, analisis Benefit Cost Ratio, Net Present Value, Break Event Point ataupun Internal Rate of Return, tidak bisa serta merta digunakan jika orientasi bisnisnya untuk masa depan yang lebih luas. Kalkulasi bisnis harus disertai kalkulasi langkah-langkah strategis yang dijabarkan dalam roadmap jangka menengah dan jangka panjang.
“Itulah sebabnya spionase malahirkan kontra spionase, intelijen pun melahirkan kontra intelijen, penggalangan massa melahirkan pemecah massa, dan seterusnya, “ujarnya
Tambah Dede, “Dan Itulah sebabnya jangan heran, jika operasi intelijen di dunia saat ini sudah menyisir di sentra – sentra pertahanan strategis, baik jantung-jantung pertahanan pangan, pertahanan energi, pertahanan ekonomi, dan lain-lain. Jadi kajian pertahanan dan ketahanan saat ini semakin kompleks dan dinamis, maka perlu dibentuknya tim dengan multi disiplin ilmu yang terpadu agar menghasilkan resultan pertahanan yang maksimal, “pungkasnya
Laporan : Ifal Chandra